Waria sebagai bagian dari masyarakat Indonesia dalam konteks keberagaman, pada satu sisi hendaknya dapat ditempatkan sebagai sebuah kenyataan sosial yang tidak terelakan keberadaannya. Pada sisi lain keberadaan Waria bagi sebagian masyarakat Indonesia masih dipandang sebagai bentuk penyimpangan perilaku (deviant behavior) menurut kacamata masyarakat yang menggunakan ukuran normal dan tidak normal serta lazim dan tidak lazim dan ukuran-ukuran sejenis lainnya.
Kedua pandangan dan kondisi masyarakat dalam mensikapi keberadaan waria idealnya tidak selalu dihadapkan secara berhadapan (diametral) yang dikhawatirkan dapat menimbulkan dampak yang kurang mendukung bagi persatuan bangsa, dan pembangunan manusia Indonesia seutuhnya. Pembangunan manusia seutuhnya salah satunya dipahami sebagai upaya untuk menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia Indonesia itu sendiri termasuk di dalamnya para Waria. Dalam situasi dan kondisi seperti ini, kedewasaan sebagai bangsa akan teruji dalam mensikapi keberadaan Waria.
Idealnya, memahami Waria hendaknya dipahami secara utuh (holistik), baik sebagai individu maupun anggota masyarakat yang memiliki kelebihan dan berbagai kekurangan. Waria sebagai individu maupun bagian dari masyarakat, didalamnya terdapat potensi-potensi yang memungkinkan dikembangkan kearah yang lebih membangun atau konstruktif bagi upaya untuk memberdayakan Waria dalam pembangunan bangsa. Disamping itu, pada sebagian waria juga terdapat keterbatasan-keterbatasan yang biasanya berdampak pada ketidak keberfungsian
sosialnya, misalnya gangguan dalam beradaptasi dengan lingkunganya, mempertahankan hidup dengan cara yang menyimpang seperti melacurkan diri, mengamen dan menggelandang di jalanan dan sebagainya. Kondisi ini berdampak pada keteraturan sosial dan tatanan sosial masyarakat .
Oleh karena itu, upaya untuk memberdayakan Waria menjadi sebuah tuntutan baik dalam kerangka pembangunan harkat dan martabat mereka maupun dalam upaya perlindungan sosial kepada Waria sebagai bagian dari kelompok minoritas agar tidak terpinggirkan (marginalkan) serta mendapat perlakuan-perlakuan diskriminatif. Sebagai bagian dari bangsa Indonesia, Waria juga memiliki hak dan kewajiban yang sama sebagaimana warga negara lainnya. Memberdayakan Waria dipahami sebagai upaya meningkatkan potensi yang dimiliki serta meminimalisir kelemahan yang ada pada dirinya. Pada saat yang sama juga dibutuhkan upaya yang sistematis untuk merancang ulang (rekonstruksi) pandangan masyarakat melalui upaya membangun citra (image building) secara positif tentang keberadaan Waria. Untuk merealisasikan upaya tersebut diatas dibutuhkan dukungan dari berbagai pihak baik dari kalangan pemerintah, masyarakat maupun para Waria itu sendiri. Dukungan dimaksud dipandang sebagai unsur potensial dalam memberdayakan Waria maupun masyarakat pada umumnya.
Sebelum menjelaskan permasalahan yang dihadapi waria, sebaiknya terlebih dahulu mengetahui faktor penyebab seseorang hidup sebagai waria atau yang biasa disebut kelompok transeksual.
Ada tiga faktor penyebab seseorang menjadi waria yaitu :
1. Biogenik
Seseorang menjadi waria disebabkan atau dipengaruhi oleh faktor biologis atau jasmaniah, dimana yang bersangkutan menjadi waria dipengaruhi oleh lebih dominannya hormon seksual perempuan dan merupakan faktor genetik seseorang. Selain itu, neuron yang ada di waria sama dengan neuron yang dimiliki perempuan. Dominannya neuron dan hormon seksual perempuan mempengaruhi pola perilaku seseorang menjadi feminim dan berperilaku perempuan.
2. Psikogenik
Seseorang menjadi waria juga ada yang disebabkan oleh faktor psikologis, dimana pada masa kecilnya, anak laki-laki menghadapi permasalahan psikologis yang tidak menyenangkan baik dengan orang tua, jenis kelamin yang lain, frustasi hetereseksual, adanya iklim keluarga yang tidak harmonis yang mempengaruhi perkembangan psikologis anak maupun keinginan orang tua memiliki anak perempuan namun kenyataannya anaknya adalah seorang laki-laki. Kondisi tersebut, telah menyebabkan perlakuan atau pengalaman psikologis yang tidak menyenangkan dan telah membentuk perilaku laki-laki menjadi feminim bahkan kewanitaan.
3. Sosiogenik
• Keadaan lingkungan sosial yang kurang kondusif akan mendorong adanya penyimpangan perilaku seksual. Berbagai stigma dan pengasingan masyarakat terhadap komunitas waria memposisikan diri waria membentuk atau berkelompok dengan komunitasnya. Kondisi tersebut ikut mendorong para waria untuk bergabung dalam komunitasnya dan semakin matang menjadi seorang waria baik dalam perilaku maupun orientasi sexualnya.
• Dalam beberapa kasus, sulitnya mencari pekerjaan bagi para lelaki tertentu di kota besar menyebabkan mereka mengubah penampilan menjadi waria hanya untuk mencari nafkah dan atau yang lama kelamaan menjadi permanen.
• Pada keluarga tertentu, kesalahan pola asuh yang diterapkan oleh keluarga terhadap anggota keluarganya terutama yang dialami oleh anak laki-lakinya dimasa kecil. Seperti keinginan orang tua memiliki anak perempuan, sehingga ada sikap dan perilaku orang tua yang mempersepsikan anak lelakinya sebagai anak perempuan dengan memberikan pakaian anak perempuan, maupun mendandani anak laki-lakinya layaknya seperti anak perempuan.
Pelayanan waria yang potensial lebih banyak menitik beratkan kepada upaya membangun kesadaran waria dan masyarakat melalui perlindungan dan advokasi sosial, menghilangkan stigna melalui penyuluhan sosial untuk menumbuhkan kesadaran masyarakat tentang hak asasi waria. Disisi lain waria juga memerlukan konseling untuk memantapkan identitas dirinya sesuai dengan jenis kelamin pilihannya. Bagi waria potensial, mereka dapat mitra Departemen Sosial untuk membina dan menolong sesamanya.
Pelayanan sosial waria berbasis masyarakat menitikberatkan pada peran pekerja sosial serta masyarakat dalam membantu menangani permasalahan dan memenuhi kebutuhan para waria. Pelayanan waria yang potensial lebih banyak menitik beratkan kepada upaya membangun kesadaran waria dan masyarakat melalui perlindungan dan advokasi sosial, menghilangkan stigma melalui penyuluhan sosial masyarakat dan perubahan perilaku waria, menjadikan mereka mitra untuk melakukan penjangkauan serta melatih waria potensial sebagai feer educator, feer konselor dan feer support. Program ini dilakukan secara bersama-sama oleh pemerintah, masyarakat dan waria itu sendiri melalui:
1. Kampanye sosial/penyuluhan sosial
2. Advokasi dan perlindungan sosial/pendampingan
3. Konseling
4. Komunikasi pengubahan perilaku
5. Pelatihan
Memang itu semua membutuhkan proses yang panjang, yang tentu semua kalangan terutama tokoh-tokoh masyarakat dan agama memiliki peran sentral dalam membentuk persespsi tentang waria. Jika memang kita memiliki komitmen terhadap demokrasi dan pluralisme, seharusnya kita mau berbagi hati dan ruang kepada kaum minoritas dan marjinal seperti waria ini. Islam sendiri sangat menghargai keberagaman manusia. Islam ingin mengangkat harkat semua umat, bukan menghancurkannya. Wama arsalnaka illa rahmatan lil alamin. Lalu kenapa kita mesti menghardik mereka, dengan mengatasnamakan Islam pula?
0 komentar:
Posting Komentar