Mengenai asal-usul nama “Bandung”, dikemukakan berbagai pendapat. Sebagian mengatakan bahwa, kata ‘Bandung” dalam bahasa Sunda, identik dengan kata “banding” dalam bahasa Indonesia, berarti berdampingan. Ngabandeng (Sunda) berarti berdampingan atau berdekatan. Hal ini antara lain dinyatakan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia terbitan Balai Pustaka (1994) dan Kamus Sunda-Indonesia terbitan Pustaka Setia (1996), bahwa kata “Bandung” berarti berpasangan dan berarti pula berdampingan.
Pendapat lain mengatakan, bahwa kata “bandung” mengandung arti besar atau luas. Kata itu berasal dari kata bandeng. Dalam bahasa Sunda, ngabandeng adalah sebutan untuk genangan air yang luas dan tampak tenang, namun terkesan menyeramkan. Diduga kata bandeng itu kemudian berubah bunyi menjadi “Bandung”. Ada pula pendapat yang menyatakan bahwa kata “Bandung” berasal dari kata “bendung”. Pendapat-pendapat tentang asal dan arti kata “Bandung” itu, rupanya berkaitan dengan peristiwa terbendungnya aliran sungai Citarum purba di daerah Padalarang oleh lahar Gunung Tangkuban Parahu yang meletus pada masa holosen (± 6000 tahun yang lalu). Akibatnya, daerah antara Padalarang hingga Cicalengka (± 30 kilometer) dan daerah antara Gunung Tangkuban Parahu hingga Soreang (± 50 kilometer) terendam air menjadi sebuah danau besar yang kemudian dikenal dengan sebutan “Danau Bandung” atau “Danau Bandung Purba”. Berdasarkan basil penelitian geologi, air “Danau Bandung” diperkirakan mulai surut pada masa neolitikum (± 8000 – 7000 s.M.). Proses surutnya air danau itu berlangsung secara bertahap dalam waktu berabad-abad.
Secara historis, kata atau nama “Bandung” mulai dikenal sejak di daerah bekas danau tersebut berdiri pemerintah Kabupaten Bandung (sekitar dekade ketiga abad ke-17). Dengan demikian, sebutan “Danau Bandung” terhadap danau besar itu pun terjadi setelah berdirinya Kabupaten Bandung.
Bahasa yang digunakan di Kota Bandung adalah bahasa Sunda.
Bahasa Sunda (Basa Sunda, dalam aksara sunda baku adalah sebuah bahasa dari cabang Melayu Polinesia dalam rumpun bahasa austronesia. Bahasa ini dituturkan oleh sekitar 27 juta orang dan merupakan bahasa dengan penutur terbanyak kedua di Indonesia setelahBahasa Jawa. Bahasa Sunda dituturkan di sebagian besar provinsi Jawa Barat (kecuali kawasan pantura yang merupakan daerah tujuan urbanisasi di mana penutur bahasa ini semakin berkurang), melebar hingga batas Kali Pemali (Cipamali) di wilayah Brebes, Jawa Tengah, dan di kawasan selatan provinsi Banten. Dari segi linguistik, bersama bahasa Baduy, bahasa Sunda membentuk suatu rumpun bahasa Sunda yang dimasukkan ke dalam rumpun bahasa Melayu-Sumbawa.
Seni yang terdapat di Kota Bandung
Angklung merupakan salah satu alat musik tradisional masyarakat Sunda di kota ini dan Jawa Barat pada umumnya, alat musik ini terbuat dari bahan bambu.
WAYANG GOLEK BANDUNG
Wayang golek adalah salah satu kesenian khas tanah Sunda. Pada umumnya wayang golek masih dibuat secara tradisional oleh penduduk desa-desa tertentu di Jawa Barat.
Wayang golek saat ini lebih dominan sebagai seni pertunjukan rakyat, yang memiliki fungsi yang relevan dengan kebutuhan-kebutuhan masyarakat lingkungannya, baik kebutuhan spiritual maupun material. Hal demikian dapat kita lihat dari beberapa kegiatan di masyarakat misalnya ketika ada perayaan, baik hajatan (pesta kenduri) dalam rangka khitanan, pernikahan dan lain-lain adakalanya diriingi dengan pertunjukan wayang golek.
Mata Pencaharian di Kota Bandung
Sebagian besar penduduk di kota Bandung masih banyak yang bermata pencaharian sebagai petani. Pola pertanian berladang di daerah Jawa Barat dikenal dengan istilah Ngahuma, rupanya sudah dikenal sejak jaman neolitihcum, ketika manusia masih menggunakan alat/perkakas untuk keperluan hidupnya terbuat dari batu yang telah diasah. Perkakas itu umumnya berupa kapak batu dana sejenisnya. Daerah Jawa Barat khususnya Bandung yang beriklim antara tropis dan sub-tropis merupakan daerah agraris yang subur.
Sistem Agama di Kota Bandung
Indonesia adalah negara multikultural, bermacam suku, bermacam agama, bermacam adat, dan bermacam seni. Di Kota Bandung memiliki bermacam-macam agama, ada Islam, Kristen, Hindu, Budha, dan Konghucu.
Organisasi Sosial di Kota Bandung
GRANAT KOTA BANDUNG
GRANAT didirikan pada tanggal 2 Oktober 1999 dan dideklarasikan pada tanggal 28 Oktober 1999, untuk menanggapi semakin maraknya kejahatan Narkoba, bahkan kejahatan Narkoba sudah merupakan kejahatan transnasional.
GRANAT adalah suatu Organisasi Sosial Kemasyarakatan yang bergerak di bidang social, bersifat mandiri dan terbuka bagi masyarakat untuk berpartisipasi dengan tidak membedakan asal-usul, suku, agama, ras dan golongan. Pada saat ini organisasi GRANAT telah terbentuk dan aktif di 22 Propinsi. Sebelum GRANAT didirikan, Organisasi Sosial Kemasyarakatan yang memerangi kejahatan Narkoba belum banyak, bahkan mungkin belum ada, dalam artian sebagai suatu Organisasi social Kemasyarakatan yang terorganisir secara baik. Sementara itu kejahatan Narkoba telah melakukan pembusukan terhadap generasi muda, khususnya terhadap anak-anak usia sekolah. Narkoba telah tersebar serta mudah didapat oleh anak-anak usia sekolah.
GRANAT adalah suatu Organisasi Sosial Kemasyarakatan yang bergerak di bidang social, bersifat mandiri dan terbuka bagi masyarakat untuk berpartisipasi dengan tidak membedakan asal-usul, suku, agama, ras dan golongan. Pada saat ini organisasi GRANAT telah terbentuk dan aktif di 22 Propinsi. Sebelum GRANAT didirikan, Organisasi Sosial Kemasyarakatan yang memerangi kejahatan Narkoba belum banyak, bahkan mungkin belum ada, dalam artian sebagai suatu Organisasi social Kemasyarakatan yang terorganisir secara baik. Sementara itu kejahatan Narkoba telah melakukan pembusukan terhadap generasi muda, khususnya terhadap anak-anak usia sekolah. Narkoba telah tersebar serta mudah didapat oleh anak-anak usia sekolah.
Perkumpulan Sosial Damai Bandung Bersatu "DEMAK"
Berawal dari pertemanan kami bertiga yaitu bapak Denny M. Wiriaatmadja, Bapak Sudrajat dan Bapak Iwan Ichwanudin, SH waktu demi waktu saling bercanda gurau, berargumen, berpendapat yang akhirnya menyamakan persepsi untuk mendirikan suatu organisasi sosial yang dapat berguna bagi masyarakat kota Bandung umumnya khususnya bagi masyarakat setempat sambil beribadah serta agar mendapatkan pahala bagi yang mengerjakan aksi sosial. Kami bertiga semakin bertekad mendirikan perkumpulan sosial karena dalam hidup di dunia ini harus berupaya beribadah, beramal, saling bantu, saling gotong royong sehingga terciptalah keiklasan, kerukunan, kedamaian. Dengan dasar tersebut diatas tercetuslah nama Perkumpulan Damai Bandung Bersatu yang akhirnya kami cetuskan nama perkumpulan itu serta kami legalkan dihadapan notaris Junita Winahju, SH, SP 1 dan Notaris Budhi di jalan RE. Martadinata No. 201b Bandung, pada saat dihadapan notaris kami saling tunjuk siapa yang menjadi ketua, sekretaris dan bendahara karena merupakan syarat pokok dalam membentuk suatu perkumpulan sosial. Atas kesepakatan bersama yang didasari ibadah, keridoan, keiklasan , keimanan dan ketaqwaan sehingga disahkanlah Bapak Denny M Wiriaatmadja sebagai ketua, Bapak Iwan Icwanudin,SH sebagai sekretaris dan Bapak Sudrajat sebagai bendahara pada Perkumpulan Damai Bandung Bersatu.
Kami berprinsip di tubuh perkumpulan ini tidak diperbolehkan membawa misi pribadi atau golongan karena akanmengakibatkan benturan diantara rekan serta tidak sesuai dengan social organisation. Dalam melaksanakan silahturahmi diputuskanlah Handy Talky sebagai sarana komunikasi jarak jauh untuk memudahkan berkoordinasi.
Berawal dari suatu sikap, ungkapan dari persamaan pandangan antara seorang ulama besar, K.H. E.Z. Muttaqien (almarhum) dan seorang ulama aktifis muballigh, K.H. Drs. Muchtar Adam dalam membina dan mengamankan akidah umat di salah satu daerah Bandung Utara, tepatnya di desa Ciburial (saat ini telah dibagi dua yakni: Ciburial Indah dan Mekar Saluyu), maka didirikanlah sebuah Yayasan Islam dengan nama YAYASAN BABUSSALAM Pada tanggal 12 Rabi’ul Awwal 1410 H (18 Januari 1981),dengan tujuan
1. 1. Membendung Arus Kristenisasi
2. 2. Membangun generasi Qur’ani yang unggul
Sistem Pengetahuan di Kota Bandung
Dari mulai bayi hingga masa baleg ’remaja’, bagi masyarakat Sunda sudah diperkenalkan pola permainan dan jeujeuhananan ’pengasuhan’ yang disimbolkan permainan, baik nyanyian maupun gerakan yang diharapkannya dalam bentuk permainan anak. Dalam permainan itu, si anak tidak terasa telah diajak untuk mengenal dirinya, orang di sekelilingnya, alam, dan Tuhannya. Dengan demikian si anak yang baleg akan mencapai tingkatan hideng ’mengerti’.
Semua warna hitam, tidak keliatan *kritik
BalasHapus